|
Jembatan Ampera-Palembang (Google.com) |
Jumat, 28 Desember 2012 jam 16:30 aku bertolak ke Palembang dari kantor sekaligus penjaraku nan suci. Hehe, kusebut demikian karena disitu kuhabiskan sebagian besar waktuku. Aku kerja diperusahaan yang menyediakan mess (tempat tinggal) bagi karyawannya. Keperluan sehari-hari bisa kami dapatkan dikoperasi dan kantin perusahaan. Jalan-jalanpun sering kami lakukan di lingkunga perusahaan, kebetulan perusahaan tempatku bekerja mempunyai pemandangan yang cukup mempesona. Disisi kanan diapit oleh perbukitan dan sisi kirinya diapit oleh pantai yang berhubungan langsung dengan lautan luas. Dari halaman mainoffice jika cuaca sedang bagus, kita bisa melihat anak gunung krakatau.
Perjalanan kami mulai dari kantor, yaitu tepatnya berada di Kota Kalianda (Lampug Selatan). Sebelum ke Palembang kami transit dulu ke Kota Bandar Lampung, karena teman seperjalananku tinggal di sana. Kami berangkat dengan cara nebeng mobil teman kantor kami yang searah jalan pulangnya. Di dalam mobil kami bertujuh dengan tujuannya masing-masing. Aku dan kedua temanku turun di depan kantor Balai Kota Bandar Lampung, karena sebelum ke Palembang kami akan belanja dulu ke Chandra Department store. Kami mengatur waktu sedemikian rupa, karena kami tengok jam tangan sudah menunjuk pukul 18.30, kami perkirakan sampai Chandra jam 19.00. Jadi waktu belanja kami hanya 30 menit, karena mobil travel akan jemput kami jam 20.00, padahal temanku perlu mandi, belum packing, dan tentunya persiapan lainnya. sebelum turun dari angkot, temanku berbisik,"Mbak, nanti kita jalannya harus cepat, belanjanya fokus pada hal-hal yang memang kita perlu dan harus dibeli, Mbak nanti cari tempat kasir yang kosong biar cepat.
Begitu angkot berhenti ku langsung kasih uang ke sopir yang sudah kami persiapkan sebelumnya Rp.2000 per orang. Kedua temanku bergegas turun, Mbak Cicik (yang mengajakku ke Palembang) berjalan dengan cepatnya, bahkan bisa dibilang sedikit berlari. Sedangkan satu temanku yang memang ke Chandra untuk belanja, tak bisa mengimbangi laju kami. Maklum dia Ibu-ibu beranak dua dan bebadan gemuk jadi tidak bisa melaju dengan cepat. Aku berusaha mengimbangi mereka, lajuku tak terlalu cepat juga tak terlalu lambat. Jadi posisiku ada ditengah-tengah mereka. Kuberi semangat Bu Lia, "Ayo, Bu. Ibu jalannya santai saja. Toh Ibu juga tidak buru-buru seperti kami, nanti kita katemu di swalayan saja." Setelah kudengar Bu Lia mengeluh, "Aduh, Mbak Nur. Tak bisa aku kalau harus berjalan terburu-buru seperti ini. Males aku, Mbak. Aku pulang aja, deh." Kudengar keluhnya putus asa. Aku yang tak punya pilihan hanya bisa bilang, "Oh, begitu? Ya sudah hati-hati, Bu Lia. Maafkan kami ya." (Jujur aku merasa tak enak hati sebenarnya, tapi sikonnya memaksaku berbuuat demikian).
Mbak Cicik sudah jauh dari ku, kulihat dia masih setengah berlari menuju pintu swalayan. Kuberusaha selalu mengawasinya biar tak kehilangan jejaknya. Tidak lucu kalau kami berpacu dengan waktu, eh malah saling mencari karena pisah diswalayan. Dengan cekatan kuambil barang-barang yang kubutuhkan dan langsung membayarnya ke kasir sambil terus mengawasi Mbak Cicik dari kejauhan. Belanja beres, kami bergegas keluar mencari pangkalan ojek terdekat. Mbak Cicik berusaha menawar dua ojek untuk untuk kami dengan harga Rp.15.000. Tapi tukang ojek maunya Rp.15.000 per ojek. Mbak Cicik langsung menyeretku menuju ke seberang jalan raya. Akhirnya kami dapat ojek sesuai harga yang kita tawar, Rp.15.000 untuk dua ojek.
Akhirnya kami sampai di kediaman Mbak Cicik, yang terletak di seberang RS. Bumi Waras Kota Bandar Lampung. Kami setengah berlari menaiki tangga menuju kamar Mbak Cicik yang berada di lantai dua. Mbak Cicik mengeluarkan barang-barang yang akan dipacking ke Palembang. Aku bantu packing, sementara Mbak Cicik mandi, lalu bergegas sholat. Baru saja sajadah direntangkan, Hp Mbak Cicik berdering, dia angkat, ternyata sopir travel yang menelponnya. Mbak Cicik bilang ke sopir kalau dia mau sholat isya dulu. Rupanya si sopir tidak mau tahu, karena sudah waktunya penjemputan. Mbak Cicik pun menanggapinya dengan emosi, "Ya sudah tinggal sajalah, nanti kami ke loket saja sendiri." Aku bisa mengerti kenapa bak Cicik dari tadi terkesan grusah grusuh dan cepat emosi, karena ini akhir bulan sekaligus akhir tahun jadi kerjaan kantornya menuntut tenaga, waktu, dan pkiran yang ekstra. Ditambah lagi, dia mau pulang kampung, tapi belum prepare sedangkan waktu sudah mendesak.
Jam 19:35 kami keluar dari kediaman Mbak Cicik, sebelum menuju loket travel kami ke ATM, karena Mbak Cicik harus ambil uang dulu sebelum ke Palembang. Memang nasib lagi malang, sudah dibuu waktu, ternyata ATM error, Paniklah Mbak Cicik karena uang tiket belum ada. Uangku sisa untuk bayar 1 tiket, tapi kurang untuk bayar 2 tiket.
Sambil menunggu angkot yang akan membawa kami ke loket travel, kulihat di kejauhan ada ATM BNI, kuusulkan pada Mbak Cicik, aku ambil uang, Mbak Cicik nunggu angkot. Kami pun sepakat.
Keluar dari ATM centre, Mbak Cicik belum juga mendapatkan angkot, kami putuskan untuk berjalan sambil mencari-cari siapa tahu ada ojek yang bisa membawa kami lebih cepat. Setelah berjalan kurang lebih 30 meter kami mendapatkan ojek sesuai dengan harga yang kami tawar Rp.10.000 untuk dua ojek. Syukur Alhamdulilah kami sampai di loket travel tepat pukul 20.00.
Dalam perjalanan menuju Palembang ada sedikit accident, kerusuhan antar warga di Lampung Tengah tepatnya dijembatan gotong royong kearah Metro. Mau tak mau sopir harus putar balik mencari jalan alternatif menghindari kerusuhan. Karena mobil yang membawa kami bensinnya sudah minim, sopir menyisir jalan sambil mencari-cari SPBU yang buka. Setelah melewati beberapa SPBU akhirnya kami bisa merapat untuk mengisi BBM. Dari percakapan antar sopir travel via telp. ku tahu penyebab tutupnya beberapa SPBU, tidak lain karena adanya kerusuhan. Mereka khawatir jika SPBU akan menjadi sasaran kerusuhan.
Alhamdulillah... Bensin sudah terisi, perjalanan bisa dilanjutkan kembali. Sopir kami koordinasi dengan sesama sopir travel yang menuju Palembang. Mereka berunding akan mengambil rute mana dan mereka sepakat untuk jalan beriringan untuk memudahkan koordinasi jika ada sesuatu hal terjadi. Kami melewati jalan-jalan alternatif beriringan kurang lebih 7 armada menuju kota Palembang.
|
Teras |
Syukur Alhamdulillah perjalanan lancar. Setelah memasuki kawasan Palembang para sopir mulai berpencar sesuai tujuan pnumpang masing-masing. Tepat saat adzan subuh berkumandang kami sampai di kediaman Mbak Cicik, yang beralamat di Jl. Merdeka, Kota Palembang. Di gerbang, seorang laki-laki paruh baya sudah siap menyambut kami. Mbak Cicik pun memperkenalkannya padaku sebagai kakak pertamanya, beliaulah yang tinggal bersama Ibu Mbak Cicik.
|
Halaman |
Perlahan kumausi rumah keluarga Mbak Cicik, sebuah rumah ditengah kota dengan bangunan yang sudah berumur lebih dari 100 Th jika kuamati dari bentuk dan struktur bangunanya. Ternyata benar rumah itu adalah peninggalan nenek Mbak Cicik. Begitu masuk diruang keluarga yang menyatu dengan ruang tamu kulihat Ibu dan kakak Ipar Mbak Cicik baru saja selesai menjalankan sholat subuh. Lngsung saja ku jabat tangan mereka sebagai salam perkenalan. Kuletakkan semua barang bawaan, menuju kamar mandi untuk cuci muka untuk menghilangkan kotoran yang menempel dalam perjalanan.