11 Oktober 2011, tepat ba’da maghrib aku terhanyut dalam
dekapan hangat ayah tercinta. Moment seperti ini jarang sekali kudapati. Maklum, ayah bukan
tipe orang yang romantis (maksudnya, beliau pandai memendam perasaan, entah
sedih atau gembira, takmudah kutangkap ekspresinya). Tapi sore ini aku
benar-benar merasa terharu dibuatnya. Saat aku hendak berpamitan untuk
berangkat bekerja ke sebuah kota yang lumayan jauh jarak tempuhnya, dan
kemungkinan dalam waktu lama tidak pulang ke kampung halaman. Beliau memberikan
beberapa “wejangen” sebelum melepas kepergianku. Insyaallah kata-kata beliau
akan selalu kuingat di tanah rantau nanti, “jaga diri baik-baik, di manapun
kamu berada yakinlah bahwa Allah bersamamu! Doa Ayah, selalu tercurah untuk
segala kebaikanmu.” Ku hanya mampu mengiyakan setiap perkataan yang serasa
hangat harum nafasnya, membelai pipi sebelum masuk ke telingaku. Kuperhatikan dengan
dekat wajahnya, Ayah…tanpa kusadari kerut dikeningmu mengatakan bahwa kau cukup
berat melepasku. Gumamku dalam hati, ”Yakinlah… aku akan selalu berusaha
memegang janji dan tanggung jawab.” Kucium kedua tangannya sebagai tanda “takdzim”
dan memohon restunya. Ayah menyambutnya dengan kecupan hangat di keningku
diiringi lembutnya doa yang beliau mintakan pada Allah untukku. Meski halus, aku bisa merasakannya.
Sebelum aku membalikkan badan, beliau menanyakan satu hal padaku, "Adakah uang saku untuk hidup sebelum mendapatkan gaji pertamamu di sana?" Dengan cepat kujawab pertanyaannya, agar beliau merasa lega, "Sudah, uang tabungan saya masih cukup. Mohon doanya, Ayah, semoga diberi kelancaran di sana." Seperti itulah aku, dari dulu mungkin karena seringnya diajari oleh ibu, untuk selalu hidup hemat, menabung, dan mau bekerja keras. Sehingga membuat aku mawas diri, apalagi setelah lulus kuliah, aku tak ingin lagi merepotkan orang tua. Karena bagiku saat itu, tanggung jawab ada pada diriku, malu jika harus minta ini dan itu. Alhamdulillah aku bisa mewujudkan keinginanku. Itu semua karena kalian "ayah dan ibu", orang-orang hebat yang selalu ada disampingku. Sampai kapanpu, tak ada yang mampu merubahnya.
Google.com
Ayah... aku menyayangimu, atas segala kekurangan dan kelebihanmu. Terima kasih atas segala usahamu untuk membesarkanku hingga masa pendewasaanku kini. Belum ada yang bisa kupersembahkan untukmu, tapi aku yakin suatu saat nanti akan kulihat senyum bahagia menghiasi raut mukamu yang semakin termakan zaman. Doamu yang akan selalu menemani dimanapun aku berada, sehingga ketegaran akan selalu kurasa. Ayah... meski kau hanya diam melepasku di teras rumah, aku tahu... engkau begitu menyayangiku. Kau lihat lekat-lekat saat aku memasuki gerobak putih beroda empat hasil jerih payah kakakku tercinta. Pandanganmu tak teralihkan hingga laju kendaraan tak terlihat lagi.
Ayah... maafkan aku, jika selama ini kurang berbakti padamu. Seperempat abad lebih engkau menemaniku, terlebih dalam masa-masa terberat sepeninggalan ibu, engkau selalu mencoba tegar dan tawakal demi kami anak-anakmu. Ayah... tanpa harus kau tahu, akupun selalu menaruh hormat dan kasih sayang padamu. Ayah...kutitipkan engakau sepenuhnya pada penjagaan Yang Maha Kuasa.
Ayah...tunggu aku pulang, membawa sejuta kenangan untuk mengganti hari-harimu yang penuh penantian...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar