Manusia diciptakan sebagai mahluk individu sekaligus juga sebagai mahluk sosial. Maka tak dapat dipungkiri jika kita membutuhkan bantuan orang lain. Untuk menjalankan segala aktivitas, mulai dari sandang, pangan, papan, dan pekerjaan. Bahkan untuk hal-hal yang sepele sekalipun, misalnya saat kita sedih dan jauh dari keluarga, kita butuh seseorang untuk menguatkan hati. Maka kita perlu yang namanya teman untuk berbagi. Tapi sejauh mana kita boleh mempercainya? Apakah semua hal dari kita harus mereka tahu, dan begitu juga sebaliknya? Apakah semua benda yang kita miliki juga menjadi miliknya atau mungkin boleh sekedar memakainya bersama? Ada contoh kasus, yang mungkin bisa menjadi bahan renungan untuk kita bersama. Kejadian ini sudah lumayan lama, kira-kira 2 tahun yang lalu. Kenapa aku tertarik untuk menuliskannya? Karena aku tak ingin kejadian ini terjadi pada kalian.
****
Ada 3 orang mahasiswi sebuah perguruan tinggi terkemuka di Jawa Tengah, melakukan program magang di sebuah rumah sakit swasta di kota Yogyakarta. Mereka mencoba membangun komunikasi yang baik agar dalam waktu 3 bulan ke depan dapat mereka lalui dengan baik. Mereka sengaja mencari kos-kosan dalam satu rumah dengan harapan lebih mudah melakukan koordinasi. Tiba-tiba seorang mahasiswi yang bernama Titis, mendapat telepon dari saudaranya "Mbak Icha" yang kebetulan mengambil program double degree di sebuah universitas negeri terkemuka di Yogyakarta. Mb Icha mengajaknya tinggal di kontrakannya, biar lebih dekat sama anaknya. Titis agak berat meninggalkan kedua temannya, selain itu uang DP juga sudah diserahkan ibu kos, tidak mungkin untuk diminta kembali. Terlebih lagi, dia takut jika merepotkan mb Icha dan keluarganya, apalagi setiap week end suami mbak Icha datang ke kontrakan. Tapi ajakan mbak Icha tak dapat ditolaknya, akhirnya Titis berpamitan pada kedua temannya "Vica dan Dian".
Meskipun Titis tinggal terpisah d kontrakan, dia tetap menjaga komunikasi dengan kedua temannya. Bahkan setelah di bawakan motor oleh kakak iparnya untuk memudahkan transportasi sehari-harinya, Titis sering mengantar dan menjemput kedua temannya dari kos ke tempat magang. Berbagi tugas kantor, ngobrol, sampai makan siang tetap mereka lakukan bersama. Dari situ tercipta keakraban dan rasa senasib sepenanggungan karena mereka sama-sama di perantauan.
Meskipun Titis tinggal terpisah d kontrakan, dia tetap menjaga komunikasi dengan kedua temannya. Bahkan setelah di bawakan motor oleh kakak iparnya untuk memudahkan transportasi sehari-harinya, Titis sering mengantar dan menjemput kedua temannya dari kos ke tempat magang. Berbagi tugas kantor, ngobrol, sampai makan siang tetap mereka lakukan bersama. Dari situ tercipta keakraban dan rasa senasib sepenanggungan karena mereka sama-sama di perantauan.
Singkat cerita, disatu bulan terakhir magang, Dian bermaksud menginap di kontrakan Mb Icha. Karena kebetulan beberapa hari ini Mb Icha pulang ke rumah orang tuanya di Semarang, karena kuliah sudah selesai tinggal menunggu kabar kapan kepastian pemberangkatan ke Belanda. Dian bilang mau ikut menginap, karena besok akan pulang ke Semarang dan minta tolong diantar ke terminal Jombor oleh Titis. Dengan senang hati Titis menerimanya, karena terlalu sepi di kontrakan sendiri. Malam ini Titis menyetrika pakaiannya sambil menunggu kedatangan Dian yang akan diantar oleh pacarnya. Pacar Dian kebetulan kerja di kota Yogyakarta juga. Sekitar pukul 23.00 WIB Dian datang diantar seorang laki-laki pakai sepeda motor, entah pacarnya atau bukan, Titis belum sempat keluar menemuinya, laki-laki itu sudah berlalu. Dian dipersilahkan masuk lalu menyerahkan nasi goreng pesanan Titis. Karena sudah terlalu lapar, Titis langsung memakannya setelah itu ingin segera beranjak tidur biar bisa bangun pagi-pagi untuk mengantar Dian.
Titis sudah tak kuat menahan kantuk, kemudian mengajak Dian tidur di kamar Mb Icha. Itu juga atas saran Mb Icha, karena kasurnya lebih besar dan nyaman untuk ditempati berdua. Saat mau tidur Dian meminta untuk tidur didekat pintu dan memohon Titis bersedia tidur di dekat tembok. Titispun menyetujuinya, tanpa bertanya ini dan itu. Toh sama saja mau di dekat tembok atau dekat pintu, bagi titis yang penting cepat tidur.
Pagi hari setelah dari kamar mandi menuju kamarnya untuk menjalankan ibadah sholat subuh, Titis sontak dibuat kaget, karena kamarnya acak-acakan. Pakaian yang semalam ia setrika tidak karuan letaknya. Dia berfikir kalau kucing yang melakukannya tidak mungkin sampai sekacau ini. Matanya langsung menyapu ke arah di mana laptop ia simpan. Berkali-kali ia membolak balik pakaian yang berserakan, belum juga ditemui laptopnya. Tiba-tiba mulutnya berteriak-teriak, "Maling...maling..." entah berapa kali kata itu terlontar. Sampai tetangga pada datang menghampiri, dan otomatis membangunkan temannya, Dian.
Tetangga dan temannya ikut menyaksikan keadaan kamar yang berantakan dan mencoba menenangkan Titis yang terlihat shock. Titis langsung ingat untuk menghubungi ayahnya di Semarang untuk mengabarkan kejadian ini dan meminta pertimbangannya. Saat ditelepon ayahnya hanya bilang, "Ya sudah ga apa-apa, barang kalau sudah hilang mau diapakan, yang penting kamu selamat." Kakak perempuannya mendengar kabar tersebut dan langsung menelepon balik untuk menanyakan kronologis kejadiannya. Titis menjelaskan bahwa sewaktu beranjak tidur semua dalam keadaan baik-baik saja, tapi setelah bangun kamar sudah tidak karuan kacaunya. Yang tidak dimengerti Titis sampai saat ini, mengapa ada kaos basah milik Dian di dalam kamar, dengan air yang menggenang dan agak lengket. Dian menjelaskan bahwa dia tidak tahu perihal kaosnya itu. Dian langsung melihat ke arah dompetnya, dan langsung mengambilnya dan meneliti isinya. Dia berkata bahwa uang di dompetnya juga hilang. Dari balik telepon kakak Titis mengatakan untuk tetap tenang dan langsung melaporkan kejadian itu pada RT, RW, dan kantor polisi setempat. Kakak Titis mencoba membesarkan hatinya, "Kamu yang sabar, kakak yakin orang yang mengambil laptopmu adalah orang dalam karena sesuai penjelasanmu tidak ada kerusakan pada pintu atau jendela. Untuk sementara dugaan kakak Titis kalau tidak pemilik kontrakan ya teman Titis pelakunya. Akhirnya kakak Titis hanya bilang, "Yakinlah jika masih menjadi rizkimu, insyaallah laptop itu akan kembali padamu, jika bukan rizkimu, mudah-mudahan Allah menggantinya dengan yang lebih baik." Titis sempat tertawa mendengar kata-kata kakaknya yang terakhir, sepertinya mustahil sekali mengharapkan laptop itu kembali.
Titis mengajak temannya melaporkan kejadian ini pada RT dan RW setempat, temannya mengatakan hal ini adalah perbuatan yang sia-sia. Tapi Titis tetap kekeh melapor pada RT dan RW seperti saran kakaknya, Dian bersedia menemaninya. Pihak RT dan RW juga mengatakan bahwa hal ini sulit dilacak. Titis putus asa mendengar penjelasan RT dan RW tadi. Tanpa pikir panjang Titis langsung menghantarkan temannya ke terminal karena sudah memohon-mohon untuk diantar. Karena Titis tahu kalau uang Dian diambil juga oleh pencuri, maka Titis memberinya uang Rp 50.000,00 untuk biaya transportasi.
Setelah mengantar Dian, sampai di kontrakan Titis masih bingung mestia ngapain. Tiba-tiba teleponnya berdering, dilihatnya, ternyata kakaknya memanggil dan mengatakan lebih baik Titis pulang ke Semarang, demi keamanan. Titispun berpikir demikian. Tak lama kemudian Titis berkemas untuk pulang ke Semarang dan mencoba menghubungi Rumah Sakit tempatnya magang selama ini. Kebetulan hari ini hari Jumat, hari terakhir masuk kantor sebelum week end. Titis minta izin tidak masuk kantor karena sedang mendapat musibah, ada pencuri masuk kontrakannya yang berhasil mengacak-acak kamar dan mengambil laptop miliknya. Pihak rumah sakit langsung memberinya izin, bahkan menawarkan bantuan apa yang bisa diperbuat untuk meringankan bebannya saat ini. Titis hanya bilang, "Maaf, bukannya saya menolak bantuan rekan-rekan, tapi saat ini saya ingin pulang ke rumah untuk menenangkan diri dan mencari solusi bersama keluarga. Terima kasih atas perhatian rekan-rekan untuk saya."
Titis mengabarkan kejadian ini pada Vica dan pamit mau pulang ke Semarang. Dari balik telepon Vica terdengar kaget dan mencoba menenangkan diri. "Titis, yang sabar ya! kalau memang harus pulang hati-hati di jalan". Sebelum menutup telepon, Vica bertanya perihal Dian yang mau nginep di kontarakan mb Icha, apakah Dian jadi pulang juga pagi ini. Setelah mendengar penjelasan Titis, Vica mencoba menguatkan Titis.
Titis pulang ke Semarang dengan mengendarai sepeda motor, jarak tempuh normal Semarang-Jogjakarta adalah tiga jam, tapi kali ini Titis memerlukan waktu lima jam lebih. Banyak hal yang menyebabkan lamanya waktu tempuh, di satu sisi Titis ingin menyelesaikan masalah ini di Yogya tapi tak ada keluarga yang membantu. Disisi lain ia ingin pulang menyelesaikan masalahnya di rumah bersama keluarga sambil menenangkan diri. Ditengah kegalauan itu, ternyata cuaca juga tidak mendukung, tiba-tiba saat sepeda motor melaju sampai di Magelang hujan turun lebat dan mengharuskan Titis mencari tempat untuk berteduh. Kebetulan di depan sebelah kiri ada masjid. Karena kebetulan hari ini Jumat dan sudah memasuki waktu jumatan, Titis sekalian ikut sholat dzuhur disitu. Setelah sholat, Titis ngobrol dengan seorang polisi sekalian menunggu hujan reda. "Kenapa, Mbak! Sepertinya sedang ada masalah?" Polisi itu menegur Titis. "Iya, Pak! Hari ini saya dapat musibah, ada maling masuk kontrakan, mengacak-acak kamar dan mengambil laptop saya. Saya bingung harus bagaimana, kemungkinan laptop saya bisa ketemu ga, Pak?" Titis mencoba cari second opinion. Ternyata jawaban polisi, tidak seperti apa yang diharapkan, dia hanya bilang, "Jangankan laptop, sepeda motor atau mobil hilang saja, susah ketemunya, Mbak!"
Hujan reda, Titis melanjutkan perjalanan ke Semarang. Pukul 17.00 WIB sampai di rumah, wajahnya tampak lelah dan pucat. Keluarga menyambutnya dengan pelukan kasih sayang, menunjukkan bahwa mereka care dan sangat mengerti posisinya saat ini. Mereka tidak langsung mengintrograsinya perihal masalah yang dihadapinya tadi pagi. Titis mandi, lalu menunaikan sholat asar. Keluarga menunggunya di ruang makan. Titis pun tak sabar untuk menceritakan semuanya pada keluarganya.
Kakak perempuan Titis tetap yakin jika pelakunya adalah orang terdekat, bukan siapa-siapa. Setelah jamaah maghrib, Titis dan keluarganya mencoba mempelajari kronologis musibah yang menimpanya. Kesimpulan sementara pelaku adalah teman Titis "Dian". Karena bukti-bukti banyak mengarah padanya. Pertama, tiba-tida dia mau menginap setelah tahu hanya ada Titis di kontrakan. Kedua, dia datang terlalu malam dengan diantar seseorang tanpa dikenalkan pada Titis, bisa jadi mereka bersekongkol. Ketiga, saat tidur dia minta posisi dekat pintu kamar. Keempat, ada alibi kaosnya yang basah di dalam kamar, padahal tidak ada air di dalam kamar dan juga tidak ada hujan semalam, yang lebih mencengangkan Dian bilang mungkin saja cairan itu adalah "sirep" biar korban tidur lelap. Kelima, tidak adanya kerusakan pada pintu atau jendela. Tapi alibi yang dibuat adalah pintu jendela kamar dibuat terbuka, seolah-olah pencuri keluar masuk lewat situ. Padahal setelah diteliti oleh pemilik rumah, meskipun jendela terbuka, logikanya anak kecil saja tidak muat lewat situ karena bukaannya terlalu sempit. Keenam, saat diminta tolong mengantar lapor ke RT dan RW dia berusaha menolak dengan alasan percuma saja melapor tidak bakal ketemu. Ketujuh, Dian minta buru-buru diantar ke terminal meskipun tahu temannya sedang tertimpa musibah.
Malam itu juga kakak perempaun Titis ingin tahu posisi Dian saat ini, karena demi keamanan laptop biar tidak berpindah ke tangan orang lain, mengingat pentingnya file-file di dalamnya. Maka Titis berusaha mencari nomor telepon rumah Dian untuk menanyakan keberadaannya. Tak lama Titis menemukan nomornya dan meminta kakak perempuan pertamanya yang berbicara di telepon. Kebetulan telepon diangkat oleh adek lelaki Dian, dia mengatakan kalau kakaknya magang di Yogya sudah dua bulan ini tidak pulang ke rumah. Padahal Dian sering izin untuk pulang ke rumah, dengan alasan bermacam-macam. salah satu alasannya adalah ijin pulang karena ayahnya dirawat di rumah sakit, tapi setelah di cek oleh pihak rumah sakit ke rumahnya, ayahnya dalam keadaan sehat, kemarin ke rumah sakit cek up karena mau pergi haji. Nah, dari sini mengindikasikan bahwa Dian memang tidak beres.
Kakak Titis tiba-tiba ingat, kalo Dian punya hutang sama Titis saat di Yogya, maka dari situlah timbul ide untuk mempertemukan Titis dann Dian dengan alasan meminta uangnya karena ada keperluan mendadak. Selain itu Titis juga inagat kalo Dian bilang beberapa hari yang lalu, dompetnya hilang beserta isinya termasuk surat-surat penting, KTP, ATM, dan SIM. Jadi tidak ada alasan untuk berkilah, mau di transfer lewat ATM atau bank, karena hari Sabtu bank pada tutup.
Titis segera mengirim SMS kepada Dian yang isinya mengatakan bahwa Titis meminta uang yang dipinjamnya untuk dikembalikan karena Titis benar-benar membutuhkannya. SMS terkirim, beberapa menit kemudian dibalas oleh Dian. "Iya Tis, Besok ku kembalikan. Besok kutunggu di depan Indomaret depan kosku, jam 06.00". Titis langsung membalasnya singkat, hanya dengan kata "OK!"
Malam itu Titis dan keluarganya membicarakan rencana untuk besok pagi, strategi dan beberapa planing untuk mencari keterangan keberadaan laptopnya. Meskipun dalam hati Titis dan keluarganya masih ada keraguan jika yang melakukan adalah temannya sendiri, yang sudah dua bulan sangat akrab dengan Titis. Hampir setiap hari laptop Titis dipakai Dian saat magang di rumah sakit. Tidak lain karena Titis sangat mempercayainya dan sudah menganggapnya seperti saudara.
Tepat pukul 06.00 WIB Titis dan kakak perempuannya sudah sampai di depan Indomaret yang dijanjikan Dian. Sekitar sepuluh menit ditunggu, Dian belum muncul juga. Kakak Titis mendesak Titis untuk menghubungi Dian dan menanyakan posisinya di mana. Dengan tanpa berdosa, Dian mengatakan, "Sorry, Tis. Aku ketiduran!" Titis langsung mengatakan kalau dia yang akan datang ke kosnya, biar gampang." Dian pun tak bisa banyak bicara, terdengar pasrah suaranya mengiyakan maksud Titis.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di kos Dian. Di depan kos, ada Zahra teman sekampus Titis dan Dian. Sebelum masuk, Titis sedikit berbincang dengan Zahra, menanyakan beberapa hal tentang keberadaan Dian. Titis ingat betul kalau Dian pernah bercerita bahwa dia sudah tidak kos di situ karena sering kehilangan barang dan sudah melaporkan pada pemilik kos tapi tidaka ada tanggapan. Zahra hanya tersenyum, mendengar ucapan Titis, dan mengatakan sesuatu yang membuat Titis menyimpan tanda tanya besar. "Kamu kan magang bertiga di Yogya sudah lebih dari dua bulan, sedikit banyak kamu tahu sifatnya, kamu percaya dengan kata-katanya?" Belum sempat Titis jawab, Dian keluar dan langsung mempersilahkan Titis dan kakaknya masuk.
TItis langsung mengakhiri pembicaraan dengan Zahra dan ijin untuk menemui Dian dulu. Titis menuju kamar Dian diikuti kakaknya. Titis masuk ke dalam kamar dian setelah dipersilahkan Dian, tapi kakak Titis tetap berdiri di pintu kamar sambil mengamati situasi sekitar. Dikamar yang cukup sempit itu terkesan ala kadarnya, hanya ada dipan, kasur dan meja kecil. Di dalam kamar itu Dian menjemur pakaian dalam menggunakan tali rafia. Karena melihat Titis dan kakaknya merasa aneh dengan pemandangan itu, tanpa diminta penjelasan Titis langsung bilang kalau dia tidak sempat pulang ke rumah jadi terpaksa dia harus mencuci.
Titis pun kembali mengingatkan Dian maksudnya untuk mengambil uang yang ia pinjam. Tanpa ba bi bu, Dian pun langsung mengambil dompetnya sambil berusaha mengingat dan menghitung berapa jumlah uang yang ia pinjam pada Titis. Tidak butuh waktu lama Dian langsung menyodorkan uang Rp.350.000 pada Titis. Titis langsung menerimanya dan langsung menghitungnya dan bilang kalo uangnya kelebihan Rp.10.000 dan dia tidak ada uang kembaliannya. Dian langsung bilang, "halah, ga usah dikembalikan. Kamu kan lagi kena musibah, Tis. Sorry ya kemarin aku buru-buru, trus bagaimana Tis, rencanamu selanjutnya?" Titis hanya menjawab dengan lirih, "Ku juga belum tahu, aku sedih. Itu laptop belinya dengan penuh perjuangan." dian Pun langsung menimpali, "Dasar maling, ga tahu diri". Kakak Atus langsung menenangkan dengan kata-kata yang kemarin sempat ia sampaikan pada Titis, "Jika barang itu masih rizkimu, Insyaallah akan kembali padami, Tis. Kakak yakin kok, pencuri itu akan mengembalikannya. mungkin saat itu dia khilaf."
Titis mengabarkan kejadian ini pada Vica dan pamit mau pulang ke Semarang. Dari balik telepon Vica terdengar kaget dan mencoba menenangkan diri. "Titis, yang sabar ya! kalau memang harus pulang hati-hati di jalan". Sebelum menutup telepon, Vica bertanya perihal Dian yang mau nginep di kontarakan mb Icha, apakah Dian jadi pulang juga pagi ini. Setelah mendengar penjelasan Titis, Vica mencoba menguatkan Titis.
Titis pulang ke Semarang dengan mengendarai sepeda motor, jarak tempuh normal Semarang-Jogjakarta adalah tiga jam, tapi kali ini Titis memerlukan waktu lima jam lebih. Banyak hal yang menyebabkan lamanya waktu tempuh, di satu sisi Titis ingin menyelesaikan masalah ini di Yogya tapi tak ada keluarga yang membantu. Disisi lain ia ingin pulang menyelesaikan masalahnya di rumah bersama keluarga sambil menenangkan diri. Ditengah kegalauan itu, ternyata cuaca juga tidak mendukung, tiba-tiba saat sepeda motor melaju sampai di Magelang hujan turun lebat dan mengharuskan Titis mencari tempat untuk berteduh. Kebetulan di depan sebelah kiri ada masjid. Karena kebetulan hari ini Jumat dan sudah memasuki waktu jumatan, Titis sekalian ikut sholat dzuhur disitu. Setelah sholat, Titis ngobrol dengan seorang polisi sekalian menunggu hujan reda. "Kenapa, Mbak! Sepertinya sedang ada masalah?" Polisi itu menegur Titis. "Iya, Pak! Hari ini saya dapat musibah, ada maling masuk kontrakan, mengacak-acak kamar dan mengambil laptop saya. Saya bingung harus bagaimana, kemungkinan laptop saya bisa ketemu ga, Pak?" Titis mencoba cari second opinion. Ternyata jawaban polisi, tidak seperti apa yang diharapkan, dia hanya bilang, "Jangankan laptop, sepeda motor atau mobil hilang saja, susah ketemunya, Mbak!"
Hujan reda, Titis melanjutkan perjalanan ke Semarang. Pukul 17.00 WIB sampai di rumah, wajahnya tampak lelah dan pucat. Keluarga menyambutnya dengan pelukan kasih sayang, menunjukkan bahwa mereka care dan sangat mengerti posisinya saat ini. Mereka tidak langsung mengintrograsinya perihal masalah yang dihadapinya tadi pagi. Titis mandi, lalu menunaikan sholat asar. Keluarga menunggunya di ruang makan. Titis pun tak sabar untuk menceritakan semuanya pada keluarganya.
Kakak perempuan Titis tetap yakin jika pelakunya adalah orang terdekat, bukan siapa-siapa. Setelah jamaah maghrib, Titis dan keluarganya mencoba mempelajari kronologis musibah yang menimpanya. Kesimpulan sementara pelaku adalah teman Titis "Dian". Karena bukti-bukti banyak mengarah padanya. Pertama, tiba-tida dia mau menginap setelah tahu hanya ada Titis di kontrakan. Kedua, dia datang terlalu malam dengan diantar seseorang tanpa dikenalkan pada Titis, bisa jadi mereka bersekongkol. Ketiga, saat tidur dia minta posisi dekat pintu kamar. Keempat, ada alibi kaosnya yang basah di dalam kamar, padahal tidak ada air di dalam kamar dan juga tidak ada hujan semalam, yang lebih mencengangkan Dian bilang mungkin saja cairan itu adalah "sirep" biar korban tidur lelap. Kelima, tidak adanya kerusakan pada pintu atau jendela. Tapi alibi yang dibuat adalah pintu jendela kamar dibuat terbuka, seolah-olah pencuri keluar masuk lewat situ. Padahal setelah diteliti oleh pemilik rumah, meskipun jendela terbuka, logikanya anak kecil saja tidak muat lewat situ karena bukaannya terlalu sempit. Keenam, saat diminta tolong mengantar lapor ke RT dan RW dia berusaha menolak dengan alasan percuma saja melapor tidak bakal ketemu. Ketujuh, Dian minta buru-buru diantar ke terminal meskipun tahu temannya sedang tertimpa musibah.
Malam itu juga kakak perempaun Titis ingin tahu posisi Dian saat ini, karena demi keamanan laptop biar tidak berpindah ke tangan orang lain, mengingat pentingnya file-file di dalamnya. Maka Titis berusaha mencari nomor telepon rumah Dian untuk menanyakan keberadaannya. Tak lama Titis menemukan nomornya dan meminta kakak perempuan pertamanya yang berbicara di telepon. Kebetulan telepon diangkat oleh adek lelaki Dian, dia mengatakan kalau kakaknya magang di Yogya sudah dua bulan ini tidak pulang ke rumah. Padahal Dian sering izin untuk pulang ke rumah, dengan alasan bermacam-macam. salah satu alasannya adalah ijin pulang karena ayahnya dirawat di rumah sakit, tapi setelah di cek oleh pihak rumah sakit ke rumahnya, ayahnya dalam keadaan sehat, kemarin ke rumah sakit cek up karena mau pergi haji. Nah, dari sini mengindikasikan bahwa Dian memang tidak beres.
Kakak Titis tiba-tiba ingat, kalo Dian punya hutang sama Titis saat di Yogya, maka dari situlah timbul ide untuk mempertemukan Titis dann Dian dengan alasan meminta uangnya karena ada keperluan mendadak. Selain itu Titis juga inagat kalo Dian bilang beberapa hari yang lalu, dompetnya hilang beserta isinya termasuk surat-surat penting, KTP, ATM, dan SIM. Jadi tidak ada alasan untuk berkilah, mau di transfer lewat ATM atau bank, karena hari Sabtu bank pada tutup.
Titis segera mengirim SMS kepada Dian yang isinya mengatakan bahwa Titis meminta uang yang dipinjamnya untuk dikembalikan karena Titis benar-benar membutuhkannya. SMS terkirim, beberapa menit kemudian dibalas oleh Dian. "Iya Tis, Besok ku kembalikan. Besok kutunggu di depan Indomaret depan kosku, jam 06.00". Titis langsung membalasnya singkat, hanya dengan kata "OK!"
Malam itu Titis dan keluarganya membicarakan rencana untuk besok pagi, strategi dan beberapa planing untuk mencari keterangan keberadaan laptopnya. Meskipun dalam hati Titis dan keluarganya masih ada keraguan jika yang melakukan adalah temannya sendiri, yang sudah dua bulan sangat akrab dengan Titis. Hampir setiap hari laptop Titis dipakai Dian saat magang di rumah sakit. Tidak lain karena Titis sangat mempercayainya dan sudah menganggapnya seperti saudara.
Tepat pukul 06.00 WIB Titis dan kakak perempuannya sudah sampai di depan Indomaret yang dijanjikan Dian. Sekitar sepuluh menit ditunggu, Dian belum muncul juga. Kakak Titis mendesak Titis untuk menghubungi Dian dan menanyakan posisinya di mana. Dengan tanpa berdosa, Dian mengatakan, "Sorry, Tis. Aku ketiduran!" Titis langsung mengatakan kalau dia yang akan datang ke kosnya, biar gampang." Dian pun tak bisa banyak bicara, terdengar pasrah suaranya mengiyakan maksud Titis.
Tak butuh waktu lama untuk sampai di kos Dian. Di depan kos, ada Zahra teman sekampus Titis dan Dian. Sebelum masuk, Titis sedikit berbincang dengan Zahra, menanyakan beberapa hal tentang keberadaan Dian. Titis ingat betul kalau Dian pernah bercerita bahwa dia sudah tidak kos di situ karena sering kehilangan barang dan sudah melaporkan pada pemilik kos tapi tidaka ada tanggapan. Zahra hanya tersenyum, mendengar ucapan Titis, dan mengatakan sesuatu yang membuat Titis menyimpan tanda tanya besar. "Kamu kan magang bertiga di Yogya sudah lebih dari dua bulan, sedikit banyak kamu tahu sifatnya, kamu percaya dengan kata-katanya?" Belum sempat Titis jawab, Dian keluar dan langsung mempersilahkan Titis dan kakaknya masuk.
TItis langsung mengakhiri pembicaraan dengan Zahra dan ijin untuk menemui Dian dulu. Titis menuju kamar Dian diikuti kakaknya. Titis masuk ke dalam kamar dian setelah dipersilahkan Dian, tapi kakak Titis tetap berdiri di pintu kamar sambil mengamati situasi sekitar. Dikamar yang cukup sempit itu terkesan ala kadarnya, hanya ada dipan, kasur dan meja kecil. Di dalam kamar itu Dian menjemur pakaian dalam menggunakan tali rafia. Karena melihat Titis dan kakaknya merasa aneh dengan pemandangan itu, tanpa diminta penjelasan Titis langsung bilang kalau dia tidak sempat pulang ke rumah jadi terpaksa dia harus mencuci.
Titis pun kembali mengingatkan Dian maksudnya untuk mengambil uang yang ia pinjam. Tanpa ba bi bu, Dian pun langsung mengambil dompetnya sambil berusaha mengingat dan menghitung berapa jumlah uang yang ia pinjam pada Titis. Tidak butuh waktu lama Dian langsung menyodorkan uang Rp.350.000 pada Titis. Titis langsung menerimanya dan langsung menghitungnya dan bilang kalo uangnya kelebihan Rp.10.000 dan dia tidak ada uang kembaliannya. Dian langsung bilang, "halah, ga usah dikembalikan. Kamu kan lagi kena musibah, Tis. Sorry ya kemarin aku buru-buru, trus bagaimana Tis, rencanamu selanjutnya?" Titis hanya menjawab dengan lirih, "Ku juga belum tahu, aku sedih. Itu laptop belinya dengan penuh perjuangan." dian Pun langsung menimpali, "Dasar maling, ga tahu diri". Kakak Atus langsung menenangkan dengan kata-kata yang kemarin sempat ia sampaikan pada Titis, "Jika barang itu masih rizkimu, Insyaallah akan kembali padami, Tis. Kakak yakin kok, pencuri itu akan mengembalikannya. mungkin saat itu dia khilaf."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar