Minggu, 11 September 2011

Kupatan (Peringatan di bulan Syawal) 1432 H

google.co.id
Adzan subuh sudah berkumandang tepat di tujuh hari pasca lebaran. Bergegas ku bangkit dari tempat tidur menuju kamar mandi. Air telah membasuh anggota wudluku, sejuk...rasanya. Alhamdulillah, sholat subuh pun sudah tertunaikan. Aku bangunkan adikku tersayang, "Ahmad" namanya. Tak butuh waktu lama untuk membuatnya terbangun memenuhi panggilan-Nya. Kali ini ada yang berbeda pada dirinya, Ia habiskan subuh di kamar belakang tempat sholat keluarga. 

Aku tidak lupa jika hari ini ada ritual "kupatan" di setiap Masjid, Mushola, ataupun Surau yang setiap satu tahun sekali diperingati, tepatnya di bulan Syawal tujuh hari setelah iedul fitri. Kuingat kemarin Adek bilang, "Mbak, kupatan besok aku mau ikut ke mushola depan rumah." Kujawab dengan tegas, "Ya, harus!"

Awalnya aku pikir ini hanyalah hal yang sederhana. Disaat orang-orang dengan suka cita mempersiapkan acara kupatan, ada yang membuat ketupat, lontong, beserta lauk pauknya, ada juga yang membuat "lepet" jajanan khas kupatan. Sedangkan aku dan keluarga pergi silaturrahmi ke tempat saudara yang belum sempat kami datangi. Selain itu aku berpikir, toh kami sekeluarga kurang suka dengan hidangan tersebut. Jika kami membuatnya pada saat lebaran pun biasanya hanya untuk sajian para tamu yang datang ke rumah kami. Karena dihari lebaran kami lebih suka makan nasi dan sayur tanpa santan.Untuk selamatan bisa beli jadi saja, biar tidak repot, pikirku saat itu. Tapi, ternyata sampai malam hari aku lupa dengan semua itu, mungkin karena terlalu capek.

Kudekati dia saat duduk lemas di dipan kamarnya, lalu kutanya kenapa tadi tidak jama'ah subuh di Mushola. Tanpa menatapku ia menjawab dengan lirih, "Aku malu, Mbak! Selepas sholat subuh semua tetangga kumpul untuk selamatan sambil membawa hidangannya masing-masing." Kucoba membesarkan hatinya semampuku, "Bukankah tidak ada yang melarangmu datang jika tanpa membawa hidangan? Di rumah ada buah-buahan dan kue-kue, jika kamu mau membawanya, akan kupersiapkan beserta satu teko teh hangat dan gelas-gelasnya. Bagaimana?" Kulihat dia terdiam sambil sesekali menelan ludah, lalu kudengar dia bicara ketus, "Kali ini aku absen!" Saat ini dia memilih merebahkan badan di kasur, berusaha memejamkan kedua matanya. Dengan berat hati kumeninggalkannya menuju ruang makan, karena dalam hal ini aku merasa bersalah.

Aku terduduk di kursi menopang dagu di atas meja makan. Belum ada sarapan untuk disantap pagi ini, hanya ada sepiring nasi, seiris telur dadar serta sepotong tempe dan  tahu sisa makan malam. Pikiranku melayang kembali ditujuh tahun silam. Dimana ada Ibu yang selalu siap dan sigap untuk kami, yang selalu mengerti maunya kami, yang selalu memberikan segalanya sepenuh hati. Katanya, "Ikhlas itu indah di awal dan akhir". Ya Allah, inilah salah satu hal yang sulit aku capai...

Ibunda
Hari ini, 7 tahun yang lalu adalah hari terakhir aku bersamanya, seseorang yang paling aku sayangi setelah Rasulullah Muhammad SAW. Beliau wanita tangguh di mataku, sampai sekarang belum ada yang dapat menggantikan posisinya dihati kami. Hari ini, 7 tahun yang lalu dipagi buta Beliau telah sibuk dengan segala aktivitasnya menyiapkan selamatan untuk acara Kupatan tanpa bantuan kami, lima orang buah hatinya. Aku sedih mengenangnya, karena tak biasanya kami membiarkan Ibu repot sendirian. Saat Subuh tiba, ibu membangunkan kami, aku berjalan gontai sambil menggosok-gosok mata. Saat itu bisa kulihat dengan jelas semua hidangan telah siap disajikan di meja makan untuk sebagian di bawa ke mushola. Tiba-tiba kudapati ibu berdiri di hadapanku tersenyum kecil tanpa bicara satu kata pun. 

Suara-suara puji-pujian mengagungkan Asma Tuhan semakin menggetarkan hatiku, Sungguh Agungnya diri-Mu. Saat ada panggilan yang ditujukan kepada para jamaah dari berbagai Masjid dan Mushola untuk segera mendatangi selamatan, hatiku semakin mendesir mengingat masalahku di pagi ini. Wahai yang Maha Merajai, sungguh jiwa raga ini ada dalam genggaman-Mu. Suka dan dukaku ada dalam kehendak-Mu. Bismillahi tawakaltu 'alallah... Laa khaula wala kuwata illa billah... Aku berjanji akan menjalani hari-hariku dengan lebih baik lagi, Laa takhzaan...innallaha ma'ana, aku yakin itu. Kini aku mengerti bahwa Tuhan itu memberikan banyak kemudahan bagi kita, tetapi terkadang kita sendiri yang mempersulitnya. Buktinya 7 tahun berturut-turut sepeninggalan ibu, baru kali ini aku tidak menyajikan hidangan kupatan untuk keluarga. Karena aku pikir ini hal yang sederhana dan masalah biasa dalam keluarga.  Tapi ternyata tidak sedemikian mudahnya. Maafkan aku, ini jadi bahan koreksi kedepannya. Seharusnya hal ini pun bisa aku atasi. Coba semalam aku beli lontong dan sate untuk persiapan acara kupatan, insyaallah tidak begini jadinya. simple kan? Beres kan? Andaikan...

Tiba-tiba terdengar pintu rumah diketuk seseorang, kulihat ternyata tetangga yang memanggil adikku untuk mendatangi selamatan di mushola. Kusampaikan hal tersebut padanya, dia menjawab tidak bisa datang. Ku lanjutkan aktivitas dengan beres-beres rumah, kudengar ada yang mengetuk pintu rumahku lagi, kulihat anaknya tetangga memanggil adek untuk datang ke mushola. Kusampaikan hal itu padanya, dia hanya menggeleng. Kutinggalkan dia untuk menyapu lantai dan mempersiapkan sarapan. Beberapa saat kemudian kudengar pintu rumahku diketuk seseorang, kulihat siapa yang datang ternyata tetanggaku yang dulu mengasuh adek saat ditinggal Ayah dan Ibu pergi haji, kami biasa memanggilnya "Mbah Mi". Kulihat beliau membawakan serantang sayur dan seikat ketupat serta lepet untuk kami. Kuterima pemberiannya dengan ucapan terima kasih. Saat aku menyalin sayur dengan mangkok, kulihat Mbah Mi berjalan menuju kamar adek. Kudengar beliau bergumam dengan bahasa jawanya yang kental, "Bocah diajak slametan kok malah turu!" Ku kembalikan rantang pada Mbah Mi dengan ucapan terima kasih yang kedua kalinya, "Matursuwun, Mbah! Ngapuntene sampun ngrepoti." dengan suara yang sedikit tertahan dan muka agak tertunduk karena air mata hampir jatuh dari pelupuk mataku. Beliau menjawab dengan lembut, "iyo, ora apa-apa, ora ngrepoti, iki berkat saka mushala." Beliau bertanya padaku kenapa adek tidak datang selamatan ke mushala padahal sudah  dijemput beberapa kali. Mendengar pertanyaannya sebenarnya aku sudah tak kuasa berkata-kata lagi. Kutarik nafas dalam-dalam dan aku pura-pura menjatuhkan sapu yang ada dalam genggamanku untuk mengalihkan perhatiannya. Lalu kujawab semampuku, "Sampun kula sanjangi supados dugi, piambake mboten kerso, amargi kula mboten ndamel lontong utawi kupat, Mbah!" suaraku semakin parau dipenghabisan. Saat itu aku sudah tak perduli lagi Mbah memperhatikan aku atau tidak. Akhirnya ku dengar Mbah bilang, " Ora usah nggowo yo ora apa-apa, sing penting kumpul kancane!" 

Pintu kututup kembali. Aku kembali terduduk di kursi makan sambil memandang hantaran dari Mbah Mi. Pikiranku melayang kembali ke masa silam. Dulu, saat ibu masih ada kami selalu diajarkan untuk selalu berbagi dalam keadaan apapun dan dengan siapapun. Kata Ibu, berbagi itu indah. Kini aku tahu karena telah merasakan buah dari indahnya berbagi, Subhanallah...sampai-sampai membuatku terharu tak mampu berkata-kata. Dulu hampir setiap hari ibu menyuruhku mengantarkan sesuatu untuk tetangga ataupun saudara apapun yang kami punya dan kiranya ada manfaatnya untuk mereka. Ternyata itu cara ibu untuk mengajarkan pada kami "makna indahnya berbagi". Saat itu kami belum tahu maksud ibu, yang kami tahu hanya marah dan menggerutu, " Semua di kasih orang, buat kita mana?" Karena ibu suka membagi-bagi apapun, entah itu sayur habis dipetik dari kebun ataupun yang sudah diolah, entah itu barang-barang kebutuhan rumah tangga atau bahkan oleh-oleh setelah pulang dari berjualan di pasar. Saat kutanya mengapa harus begitu, ibu hanya menjawab, "Bahagia itu apabila kita bisa merasakan orang lalin bahagia karena kita." Hal yang paling aku ingat adalah setiap kali ada tamu datang ke rumah sebisa mungkin ibu memberinya makan dengan apapun yang kami punya. Saat ku tanyakan padanya kenapa harus sedemikian repotnya, beliau menjawab dengan tersenyum, "Karena ibu berharap di manapun kalian berada kelak ada banyak orang yang berbuat sama seperti yang ibu lakukan saat ini. Yang paling penting anakku, semua ini ibu lakukan hanya demi mengharap ridho-Nya." Terlebih lagi, perkataannya yang membuatku merinding mendengarnya, "Jangankan harta benda, bahkan kepala ini pun akan ibu berikan demi mendapat ridho Ilahi."

Suatu hari saat aku masih kelas satu SD, Ibu pernah berpesan padaku, Nanti pulang sekolah tolong temanmu "Shokhib" ajak mampir ke rumah, ada sesuatu yang akan Ibu berikan padanya. Aku iyakan saja sambil berlari setelah mencium tangannya. Sesampainya di rumah, ternyata ibu memberi Shokhib sepatu yang bapak beli kemarin untuk kakak laki-lakiku yang ternyata kesempitan. Ibu menyuruhnya duduk dibangku, kemudian memakaikan dikedua kakinya. Kulihat ibu tersenyum memandang wajah temanku sambil berkata, "Alhamdulillah...pas, Nak. Kamu suka?" Melihatnya menganggug, Ibu lega, Sepatu ini untuk kamu. Semoga bermanfaat." Kulihat raut muka bahagia terpancar dari wajahnya, tiba-tiba aku pun ikut tersenyum. Setelah Shokhib pulang, tanpa kutanya ibu menjelaskan maksudnya memberikan sepatu itu padanya. "Kamu harus bersyukur masih punya Bapak dan Ibu yang masih bisa kamu lihat dan juga menyayangimu, temanmu tadi ditinggal mati Bapaknya semenjak ia masih dalam kandungan ibunya. Sepatu tadi tidak cukup dipakai kakakmu, kamu juga masih kegedean, sayang kalo disimpan malah rusak. Besok kalo ada rizki Bapak pasti membelikannya untuk kalian."

Di bulan Ramadhan, saat mendekati lebaran ibu selalu membagi-bagi makanan dan pakaian kepada saudara-saudara. Awalnya hal itupun tidak dapat aku pahami, karena yang aku tahu teman-temanku pada saat lebaran pakaiannya selalu baru, bahkan mereka punya lebih dari satu. Sedangkan kami, anak-anak ibu, bisa beli satu saja sudah syukur Alhamdulillah, kata Bapak dan Ibu baju yang lama masih layak dipakai. Sebagai anak kecil, pastilah aku merajuk dan bahkan marah saat disuruh Ibu dan Bapak membagi-bagikan makanan dan pakaian ke saudara-saudara. Coba kalo tidak dibagi-bagi, uangnya bisa menambah beli pakaian untuk kami. Selain itu sering aku mengamati saat lebaran Ibu jarang sekali pakai baju baru, kalaupun beli pasti memilih dengan herga yang paling murah. Ibu selalu bilang, lebaran itu yang penting puasanya lengkap tidak perlu bermewah-mewah.
**
Ketupat kuiris, kumakan bersama sayur hantaran tetanggaku tadi. Alhamdulillah... di tujuh hari pasca iedul fitri masih bisa kunikmati berkah Ilahi. Tak tersasa air mataku telah mengalir deras seiring suapan dan kunyahan di mulutku. Karena aku teringat sesuatu, tepat di pagi ini, tujuh tahun silam aku masih menikmati ketupat sayur racikan tangan ibuku saat selamatan di Mushola. Pada saat itu hampir saja aku makan sepiring berdua dengan beliau, sebelum tetanggaku mengambilkan sepiring ketupat sayur untukku. Kulihat ibu,  hanya menganggug dan tersenyum kecil pada tetanggaku. Padaku pun sama, Ibu hanya mengangguk tanpa banyak bicara, senyum kecil yang beliau layangkan padaku memberi sebuah isyarat.

Saat itu, sekitar pukul 09.00 WIB, Ibu dan Bapak menunaikan sholat dhuha bersama, selepas sholat Ibu mengajak Bapak silaturrahmi ke rumah teman-teman satu regu saat menunaikan ibadah haji dulu di tahun 1992. Kebetulan semua anggotanya tinggal di komplek yang sama, yaitu diujung barat kota Semarang, kebetulan juga Bapak sebagai ketua regunya. Bapak dan Ibu bermaksud mengajak kami anak-anaknya turut serta silaturrahmi seperti tahun-tahun sebelumnya setiap lebaran tiba. Tapi kami, kelima anaknya tak ada satupun yang turut serta. Entahlah apa yang ada dipikiran kami saat itu. Alasanku saat Ibu dan Bapak mengajakku, aku hanya bilang bahwa aku belum punya SIM, meskipun aku sudah terbiasa berkendara tanpa SIM juga. Penyesalan kini yang tersisa, karena pada saat itu aku menolak dengan perasaan yang aku sendiri tidak mengerti. Saat itu, kami berlima merasa jauh dari Ibu dan bawaannya pengen marah, gundah seperti ada sesuatu yang menyesak di dada dan tak sempat terkatakan.
Pernikahan Bapak & Ibu, 1979

Pukul 09.30 WIB, Bapak dan Ibu berpamitan pada ku dan kedua adikku. Karena kebetulan kedua kakak kami sedang tak ada di rumah. Kami menghantarkan sampai teras, Yang kami lihat saat itu Ibu terlihat berbeda,  mengenakan pakaian termahal yang pernah dibelikan Bapak, dengan warna hijau yang bukan menjadi favoritnya, tapi tampak anggun di mataku. Pernah kakak perempuan kami membelikannya gamis berwarna hijau, beliau mengatakan bahwa warna hijau tidak cocok untuk warna kulitnya, yang agak gelap karena seringnya tersengat matahari secara langsung. Tapi pada saat kami diperlihatkan pakaian lebaran Ibu yang baru saja dibeli bersama Bapak, ternyata berwarna hijau. Spontan kami anak-anaknya bergurau dengan mengatakan, "Kok hijau, bu! Katanya ga suka warna hijau?" Ibu mencoba membela diri menjawabnya dengan tegas dan tetap dengan senyumnya yang khas, "Ibu suka hijau, hijau kan surga!" Saat kami mencoba menanyakan harganya, Ibu hanya mengatakan bahwa ini adalah pakaian termahal yang dibelikan Bapak.

Itulah saat terakhir aku dan adik-adik melihatnya. Karena siang ini tepat pukul 15.00WIB , tujuh tahun lalu aku menerima telp.dari RS. Karyadi bahwa bapk dan Ibu mengalami kecelakaan di jalan raya Jrakah. Saat kutanyakan keadaan mereka, dari balik telp. hanya menjawab bahwa Bapak dalam keadaan baik-baik saja. Alhamdulillah...seketika hati dan bibirku memuji asma-Nya. Tanpa menunggu lama kutanya keberadaan Ibu, petugasnya hanya berkata, "Lebih baik mbak datang langsung saja ke rumah sakit!" Seketika badanku lemas, dunia serasa berhenti berputar. Kupastikan berkali-kali diri ini, mungkin aku bermimpi disiang hari. Aku ingat jika aku hanya di rumah berdua sama adik bungsuku, kutemukan dia diruang tengah sedang mempersiapkan makan siang kesukaannya secobek sambal dan tempe goreng hangat. Belum sempat ia memakannya saat ku kabari bahwa Bapak dan Ibu mengalami kecelakaan. Buru-buru ia mengajakku mengabarkan hal ini pada tetangga dan Pakdhe yang rumahnya tak jauh dari rumah kami.

Kuputuskan untuk secepatnya melihat keadaan orang tua kami, alhamdulillah tetangga depan rumahku antusias untuk menghantarkanku. Adik bungsu kutitipkan di rumah Budhe, sambil menunggu Pakdhe yang sedang mengimami sholat ashar di masjid depan rumahnya. Disepanjang perjalanan tak henti-hentinya hati dan bibir ini memohon perlindungan Allah. Doa-doa dan bacaan apa saja yang kubisa, ku panjatkan pada Allah azza wajalla. Di tengah perjalanan HP ku berdering, ternyata kakak sulungku telp. dan kata-kata yang bisa ku dengar saat itu hanyalah, "Sing sabar ya, Nok! Ikhlaskan Ibu, Ibu sudah dipanggil Allah SWT..." Aku tidak tahu kata-kata apa lagi yang kakak ucapkan padaku, pada saat itu aku sangat sedih, tidak tahu harus berbuat apa. Sampai mau menangispun aku tak bisa, seolah-olah otakku memerintahkan untuk menganggap semua ini hanyalah mimpi dan yang aku inginkan saat ini hanya lekas-lekas bangun dari mimpi terburukku.

Aku tersadar oleh pertanyaan tetangga yang menghantarkanku, "Mbak, piye lanjut atau putar balik mempersiapkan segala sesuatunya di rumah?" Spontan aku menyuruhnya melanjutkan perjalanan ke rumah sakit, di rumah insyaallah sudah banyak yang membantu mempersiapkan segala sesuatunya. Di depan UGD aku disambut oleh teman Haji bapak dan ibu beserta kerabat. Aku dituntun masuk UGD menemui bapak yang terbujur di atas kasur. Alhamdulillah, beliau masih bisa menyambutku dengan pelukan kesedihan seraya membisikkan kata-kata padaku, "Ikhlaskan Ibumu, Ndok! Maafke Bapakmu, Ndok!" Aku hanya sanggub mengangguk, tak bisa berkata apa-apa lagi.

Aku dihantar keruang mayat menemui Ibu yang sudah terbujur kaku setelah dipanggil Allah SWT untuk selama-lamanya. Wajah yang ku lihat pertama kali adalah kakak perempuanku yang sedang sibuk mencari kain kaffan untuk menutup jenazah Ibu. Kupeluk erat-erat badab kakakku yang kurus. Tak kulihat air mata diwajahnya, hanya raut kesedihan yang tertutup ketegaran sebagai anak tertua yang selalu aku teladani. Sehingga membuat kami tegar dalam menjalani hari-hari tersulit selama ini.

Tak kusangka, ternyata banyak juga kerabat yang menyusul kami ke rumah sakit. Ada beberapa rombongan yang berpapasan dengan iring-iringan mobil ambulance. Alhamdulillah... Ibu bisa segera kami bawa pulang, karena kebetulan banyak pihak yang membantu kami, ada yang mengurus ke kantor polisi, ada yang mengurus persiapan di rumah, dan kebetulan kakak sulung kami adalah seoarng perawat yang kenal dengan petugas UGD sehingga segala sesuatunya mudah diurus. Kakak juga berinisiatif minta bantuan mobil ambulance rumah sakit tempatnya mengabdi.

Alhamdulillah semua urusan di rumah sakit selesai. Sesampainya di rumah tenda dan kursi-kursi sudah terjajar rapi, tetangga dan kerabat telah menyiapkan segala sesuatunya tanpa komando kami. Alhamdulillah, Allah memberikan kekuatan pada kami untuk menghadapi takdirNya. Sehingga kami berlima dapat memberikan penghormatan terakhir sebagai tanda cinta dan bakti kami kepada Ibunda sampai tuntas. Awalnya para tetangga dan kerabat melarang kami mengikuti setiap prosesi penghormatan terhadap jenazah, karena mereka khawatir kami tidak kuat, bahkan sampai pingsan. Kami yakinkan mereka bahwa kami akan kuat dan ingin sekali memberikan penghormatan terakhir yang terbaik untuk Ibunda.

Dari kejadian ini banyak sekali hikmah yang dapat kami petik. Yang paling penting adalah Iman dan taqwa di dalam dada harus terus kita pupuk, karena kita tak akan pernah tahu kapan, di mana, dan bagaimana Allah akan menjemput kita kembali kepangkuan-Nya. Maka berbuatlah yang terbaik dimanapun, kapanpun, dan dalam keadaan bagaimanapun. Kami juga diajarkan untuk selalu ikhlas menerima seala ketentuan-Nya, sehingga kami yakin bahwa ketentuan Allah adalah yang terbaik bagi setiap hamba-Nya, meskipun hal itu terlihat buruk atau bahkan menyakitkan kita. Selain itu kita juga harus ikhlas dengan sesama makhluk-Nya, dalam urusan hak ataupun kewajiban. Kami diajarkan untuk senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan oleh Allah sekecil apapun. Peristiwa dia atas juga mengajarkan pada kita untuk selalu peduli sesama, menumbuhkan sikap simpati dan empati pada lingkungan sekitar. Kutuliskan semua ini tak ada tujuan lain selain untuk berbagi dan mungkin ada sedikit pelajaran yang bisa digali.


1 komentar:

  1. Can I make money from betting? - Work-to-Earn Income
    There are no minimum wage, or minimum หารายได้เสริม wage amounts for sports wagering at all online sportsbooks. Online sportsbook reviews are only possible

    BalasHapus