11 Oktober 2011, tepat ba’da maghrib aku terhanyut dalam
dekapan hangat ayah tercinta. Moment seperti ini jarang sekali kudapati. Maklum, ayah bukan
tipe orang yang romantis (maksudnya, beliau pandai memendam perasaan, entah
sedih atau gembira, takmudah kutangkap ekspresinya). Tapi sore ini aku
benar-benar merasa terharu dibuatnya. Saat aku hendak berpamitan untuk
berangkat bekerja ke sebuah kota yang lumayan jauh jarak tempuhnya, dan
kemungkinan dalam waktu lama tidak pulang ke kampung halaman. Beliau memberikan
beberapa “wejangen” sebelum melepas kepergianku. Insyaallah kata-kata beliau
akan selalu kuingat di tanah rantau nanti, “jaga diri baik-baik, di manapun
kamu berada yakinlah bahwa Allah bersamamu! Doa Ayah, selalu tercurah untuk
segala kebaikanmu.” Ku hanya mampu mengiyakan setiap perkataan yang serasa
hangat harum nafasnya, membelai pipi sebelum masuk ke telingaku. Kuperhatikan dengan
dekat wajahnya, Ayah…tanpa kusadari kerut dikeningmu mengatakan bahwa kau cukup
berat melepasku. Gumamku dalam hati, ”Yakinlah… aku akan selalu berusaha
memegang janji dan tanggung jawab.” Kucium kedua tangannya sebagai tanda “takdzim”
dan memohon restunya. Ayah menyambutnya dengan kecupan hangat di keningku
diiringi lembutnya doa yang beliau mintakan pada Allah untukku. Meski halus, aku bisa merasakannya.