Jumat, 07 Januari 2011

Pagi Mencekam (Sisi Kelam Sebuah Keluarga)

Hari masih pagi,hilir mudik anak-anak sekolah dan para pekerja di jalan depan rumah kami masih tampak ramai.Aku keluar untuk menyapu halaman sambil merapikan taman. Kulihat dua orang tetangga sebelah rumah sedang asyik memanen mangga yang pohonnya berbatasan langsung dengan pagar rumahku.Ditengah keasyikanku bercengkrama dengan bunga-bunga di taman, tiba-tiba terdengar suara ribut, dan suara itu tak asing lagi bagiku. Subhanallah suara itu adalah percekcokan antara mertua dan menantu. Bukan maksud untuk menguping peselisihan diantara mereka, tapi aku sudah terlanjur ada dalam situasi yang sulit. jika aku berdiri kemudian menjauh dari tempatku semula, aku malah tidak enak dengan mereka. Maka aku putuskan untuk tetap jongkok sambil merapikan rumput di taman. 

Astaghfirullah...perselisihan ini semakin sengit, awalnya sang mertua melontarkan kata-kata kepada menantunya, pelan namun cukup menyinggung sang menantu. "Senangnya...bisa panen rambutan,,, tanpa susah-susah menanam, yang nanam ja belum pernah mencicipi hasilnya!" Sontak sang menantu marah bukan kepalang, memaki sang mertua sekenanya sambil berlari mencari pembelaan pada bapak mertuanya. Seperti sudah diketahui orang sekampung perihal hubungan kekeluargaan mereka yang carut marut. Maka pecahlah perang mulut antara ibu mertua dengan suami dan anak menantuntya.

Sebenarnya ku tak tahan mendengar perselisihan diantara mereka, sering-sering hati ini beristighfar memohon ampun, dan memohon perlindungan-Nya. Sungguh ku tak tega mendengar seorang ibu menerima cacian dan makian bertubi-tubi dari menantu dan suaminya sendiri. Meskipun sang ibu yang salah, tapi bukan begini cara yang tepat menyelesaikan masalah. Miris aku mendengar kata-kata yang terlontar dari sang ibu saat tak berdaya mendengar anak dan suaminya  menghakimi dirinya. "Bunuh saja aku, Pak...! Aku perempuan tak pernah benar di matamu dan anak-anak, aku sudah tak punya harga diri sebagai manusia"

Ya Allah...ternyata akar permasalahannya adalah mengenai hal ikhwal akan diadakannya pernikahan putri terakhir mereka. Sang bapak menginginkan acaranya diselenggarakan secara sederhana, ijab qobul dilanjutkan dengan walimahan secara sederhana pula, karena yang diundang hanya tetangga terdekat, saudara dekat dan teman calon pengantinnya. Jumlahnya kurang lebih 150 orang. Sehingga Sang Bapak memutuskan urusan konsumsi diserahkan pada anak menantunya itu, karena sang Ibu tidak setuju dengan keputusan suaminya. 

Acarapun sudah semakin dekat waktunya, namun tak prnah ada komunikasi antar keluarga secara terbuka. Sang Ibu tak pernah diajak musyawarah perihal jalannya acara kelak. Setiap kali ditanya sang Bapak hanya berkata,"Semuanya sudah beres, sudah kuserahkan pada orang yang tepat". Ternyata jawaban itulah yang memicu pertengkaran hebat hari ini. Permasalahan demi permasalah selalu disimpan oleh sang Ibu,sehingga bagaikan bola salju semakin lama semakin membesar. Karena menurut cerita ibuku, yang selalu menjadi tempat curhatnya, sedari mereka menikah hingga kini suaminya tak pernah sepaham dengannya. 

Dari pertengkaran mereka, aku sebagai orang awampun bisa merasakan betapa sakitnya perasaan sang Ibu dalam posisi tak berdaya seperti itu. Seharusnya sang Ibu itu mendapatkan kasih sayang dari anak dan suaminya, mendapatkan bimbingan dari suami tercintanya, manakala ia salah melangkah.Bukannya malah hardikan yang ia terima. Bagaimana Ibu ini bisa bangkit untuk memperbaiki diri, jika lingkungan dan orang-orang yang seharusnya memberinya support malah terus menerus menjatuhkannya.

Bagaimanapun beliau adalah seorang Ibu, wanita yang pernah melahirkan anak-anaknya. Pastilah beliau juga menginginkan hal yang terbaik bagi anaknya. Disaat anak perempuannya akan memasuki babak baru dalam hidupnya, tentunya sang Ibu juga ingin memberikan sesuatu yang terbaik. Karena setelah ia menikah, nantinya ia akan menjadi hak suaminya secara penuh. Pastilah saat ini sang ibu sedang berada dalam suasana bahagia sekaligius sedih. Bahagia, karena bisa menyaksikan anaknya mengucap janji setia sehidup semati dengan pasangannya.Sedih karena harus menyerahkan putri kesayangannya pada lelaki yang belum ia kenal sebelumnya. Putri yang setengah abad lebih ini, menemani hari-harinya, selalu ada 24 jam untuk saling menjaga.

Tanpa kusadari air mataku berlinang membasahi tanah di taman yang belum sempat kusiram pagi ini. Ketika kudengar sang menantu menghujini pertanyaan pada ibu mertuanya, "Bu, aku ini siapa? Akukan menantumu? Tak seharusnya Ibu marah-marah padaku, marahlah pada suamiku, anak Ibu! Aku ini orang lain, bukan siapa-siapamu! Sudah 6 tahun aku tinggal disebelah rumah Ibu, rumah pemberian kalian untuk kami tinggali meski tanpa sertifikat di tangan kami. Setiap kali ada masalah denganku atau suamiku, Ibu selalu mengungkit-ungkit masalah ini. Kurang sabar apa aku, Bu? Kalau memang Ibu tidak ikhlas, ambilah kemabali, biar kami cari kontrakan! Aku tidak terima, Bu... tidak terima... diperlakukan begini, seperti maling. Ibu kira, aku tak mampu membeli seikat rambutan, Bu?"

Sang Bapak tiba-tiba memotong pembicaraan menantunya yang nadanya sudah tak terkendali. "Sudah-sudah, aku sudah bisa menilai mana yang sabar, dan mana yang tidak!" Seketika sang Bapak melihat ke arah istrinya sambil mengacungkan telunjuknya kearah muka istrinya dan melontarkan kata-kata yang tak layak diucapkan oleh seorang suami kepada istrinya. "Kamu itu sudah menikah denganku lebih dari 30 tahun, tapi kelakuan tak pernah berubah. Dasar otak busuk, ngomong gak pernah dipikir! Selama kamu masih jadi istriku, mau tidak mau kamu harus mengikuti keinginanku, karena aku suamimu! Percuma saja pakai kerudung, sholat sunnah berkali-kali tapi kalau sama kelauarga selalu ribut!" kudengar lirih ibu itu mengeluarkan kata-kata yang lagi-lagi membuatku merinding, "Kalau begitu, bunuh saja aku, Pak!" Sang Bapak langsung membentak dengan logat jawa, "Lha kok penakmen, kowe ngongkon-ngongkon aku! Lha opo aku iki burohmu, heh....!?" Seketika suasana hening, sesekali terdengar sesenggukan keluar dari mulut menantu dan ibu mertuanya.

Sang Bapak memecah keheningan, dengan memaki-maki istrinya kembali. "Lha dasar wong ora duwe maturnuwun, lha wong mantune meh nulung mertuane lan adhine sing meh duwe gawe kok malah diserik!" 

Sang istripun melakukan pembelaan,"Lha aku iki lhak iyo bojomu, Ibune anakmu? Lha kok aku ora mbok wongke? Atiku lara, Pak! Aku iki isih urip, duwe anak wedok ragil meh nikah, ora dijak rembugan piye-piyene acarane sesuk, malah Panjenengan ngajak rembugan wong liyo! Atiku lara tenan, Pak! Wes,,,patenano aku, ketimbang aku urip ora dianggep!"

Sang Bapak suaranya semakin meninggi, "Lho...Lha Dewi iki rak iyo dudu wong liyo to? Dewi kuwi mantumu, bojone anakmu! Utekmu dokok nang ndi?"
"Sudah, gak usah diperpanjang, malu...banyak orang lewat! Saiki anak-anak masih pada kerja, nanti malam kita bicarakan lagi kalo sudah pada kumpul. Tapi inget, Bu! ora usah macem-macem, kowe kudu manut aku, yen isih pengen dadi bojoku!"

Mertua, menantu, dan kedua cucunya pergi meninggalkan pertengkaran itu. Satu persatu masuk ke rumah masing-masing.

Alhamdulillah...Ya Allah...akhirnya selesai juga perang ini. Mudah-mudahan mereka menemukan jalan terbaik dari-Mu. Setelah suasananya sepi akupun mulai bangkit dari tempatku tertunduk kaku, tak berdaya dan tak tahu harus berbuat apa dalam situasi tersebut. Aku bagaikan pengecut dalam persembunyian. Tapi sungguh aku tak berdaya saat itu. Aku hanya bisa mengambil hikmah dari kejadian ini untuk hidupku dan orang-orang disekelilingku. Kelak jika aku berumah tangga harus ada keterbukaan, komunikasi yang baik, saling menjaga, menghargai, dan mengasihi. 

Dari sini aku hanya bisa berpesan kepada siapa saja yang hidup berumah tangga dengan mertua, harus bisa saling menghormati, dan menganggapnya seperti orang tua kita sendiri. Karena memang awalnya mereka adalah orang lain, namun setelah ijab dan qobul diucapkan didepan penghulu dan para saksi, serta diawali syahadatain, mereka menjadi orang tua kita yang sama kedudukannya dengan orang tua kandung. Maka perlakukanlah mereka dengan lemah lembut. Begitu juga mertua, harus memperlakukan menantunya layaknya anaknya sendiri. Dengan demikian akan tercipta sebuah keluarga yang sakinah, mawwadah, warahmah.

Akhir kata aku hanya bisa berdoa "Audzubillahimin dzalik...Semoga kita terhindar dari perbuatan yang demikian". Aamien...
Kita ambil sebagai pelajaran hidup, kita tinggalkan yang tidak benar. Semoga bermanfaat.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar